Memasuki bulan dzulhijjah memori kita (ummat muslim) selalu diingatkan pada tiga sosok manusia mulia yang telah mengukir sejarah emas dalam peradapan ummat manusia. Dimana ritual ibadah haji yang dilaksanakan oleh ummat islam saat ini merupakan refleksi dari perjuangan mereka. Banyak hal yang dapat kita ambil ibroh dari perjalanan kehidupan mereka. Mereka adalah Nabi Ibrahim, Ismail dan Siti hajar.
Pada kesempatan ini saya mencoba menelusuri sebagian kecil dari jejak perjalanan hidup sang ibunda Siti Hajar. Menekuni tapak demi tapak kisah hidup sang mujahidah yang mulia, dan mengukir serpihan-serpihan keteladanan dari pribadi beliau nan agung. Mencoba menemukan butiran permata dari segunung hikmah yang berharga dari Siti Hajar perempuan mulia, yang baik budi pekertinya serta lurus dan tidak pernah berhati bengkok.

Ketinggian Tawakalnya Kepada Allah
Ketika akan ditinggal berdua dengan anaknya Ismail ditengah padang pasir yang tandus, jiwa kewanitaannya yang senantiasa mengharapkan perlindungan dan perhatian dari seorang suami sempat berontak. Dia mencoba menahan sang suami (Nabi Ibrahim) agar jangan meninggalkan mereka berdua. Baru saja Ibrahim berangkat meninggalkan mereka, Hajar segera mengikutinya dari belakang dan memegang tali kekang unta yang dikendarai oleh Ibrahim dan berkata, “Ya Ibrahim! Ke manakah engkau pergi?, kenapa kami ditinggalkan di sini? Di tempat yang menakutkan ini?
Hajar berharap agar Ibrahim menaruh rasa kasihan terhadap dirinya dan anaknya. Dia mencoba menggambarkan kondisi tempat tersebut yang gersang, tak ada tanda-tanda kehidupan, apalagi makanan yang bisa dimakan. Namun nabi Ibrahim malah menerangkan kepada Hajar bahwa ini adalah perintah Allah dan mengisyaratkan agar dia sabar menerima takdir atas setiap perintah dai Allah, supaya ia tunduk dan patuh menurut semua perintah itu.
Mendengar jawaban Ibrahim itu, Hajar hanya menjawab, “Sekarang saya mengerti, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan kami”.
Subhanallah, Inilah serpihan emas pertama. Hajar senantiasa berkhusnuzon kepada suaminya dan bertawakal kepada Allah miskipun ditinggal berdua dengan anaknya di tengah padang pasir yang tandus, karena ia yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba yang beriman. Ketaatannya kepada Allah dan suaminya, membuatnya mengabaikan setiap bayangan kesulitan yang akan dihadapinya di padang pasir yang tandus.
  
Tabah Menghadapi Cobaan
Ya Allah, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanankan Sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cendrung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrohim: 37).
Tempat Hajar dan Ismail ditinggalkan oleh nabi Ibrahim yang dikatakan padang pasir yang tandus tidak bermanusia ini adalah kota mekah. Hajar menyerahkan sepenuhnya nasib mereka kepada Allah. Ia dan anaknya makan seadanya dari perbekalan yang masih tersisa. Namun lama kelamaan bekal mereka semakin menipis dan akhirnya habis sama sekali. Di tengah padang pasir yang panasnya tidak alang kepalang itu tinggallah mereka dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, kepanasan dan kelaparan. Sungguh penderitaan yang amat sangat, yang tidak pernah dialami manusia lain.
Anaknya semata wayang masih bayi dan masih membutuhkan air susu. Namun jangankan mendapatkan air susu, air mentah pun tidak ada di situ. Hanya air mata yang senantiasa mengalir di pelupuk matanya yang dapat membasahi kekeringan itu sedikit.
Rasa lapar dan dahaga yang berkepanjangan, membuat si anak menangis sekuat-kuatnya. Namun lama kelaman ia semakin lemah dan payah hingga untuk menangispun ia tak mampu. Hajar mencoba sekuat tenaga mempertahankan jiwa sang anak dan sabar atas dirinya sendiri. Tapi apa yang dapat dilakukan di tanah yang tandus ini?
Akhinya anak yang sudah kepayahan itu diletakkannya di pasir, sedangkan dia sendiri pergi mecari air di padang pasir lalu kembali lagi melihat wajah anaknya. Hal yang demikian itu dilakukannya berturut-turut diantara dua tempat kita kenal sebagai safa dan marwah. Setiap kali kembali melihat anaknya, ia melihat seolah-olah melihat tanda-tanda adanya air di bukit safa. Namun ketika didatangi tak setitikpun air yang ia dapatkan. Lalu ia kembali melihat anaknya. Demikianlah ia melakukan berturut-turut tujuh kali pergi dan kembali (Ritual sai dalam ibadah haji merupakan refleksi dari perjuangan Siti Hajar mencari air di tengah padang pasir).
Akhirnya, hajar terhenyak tidak tau harus berikhtiar apa lagi. Segala ikhtiar yang dilakukannya sia-sia. Tanda-tanda kehidupan pada diri anaknya sajalah yang dapat menghibur hatinya. Alangkah gembiranya ia ketika melihat anak yang dicintainya masih hidup.
Hanya kepercayaan penuh kepada Allah, yang menjadikan Hajar tidak berputus asa. Kepercayaan ini sajalah, yang membuat ia kuat bertahan, menghadapi kesedihan yang tidak terperikan. Karena kepercayaan itu pula ia yakin suatu saat ia akan terbebas jua dari kesedihan itu. Kepercayaan ini pula yang menguatkan Hajar untuk terus berusaha miskipun jika dipikir secara rasional tidak mungkin ada air di padang pasir yang tandus itu. Maka setelah yakin anaknya masih hidup ia kembali berlari mencari air di tengah-tengah gurun pasir.
Namun Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuan hambanya. Atas ketabahan dan ketawakalan Siti Hajar ini maka Allah menurunkan pertolongannya lewat malaikat dengan mata air zam-zam.
Hajar dan anaknya minum sepuas-puasnya sambil mengucapkan puji dan syukur terhadap Allah yang telah mengabulkan doanya dan doa Nabi Ibrahim tatkala meninggalkan mereka.
Subhanallah sungguh luar biasa ketabahan ummu Ismail ini, jika kita lihat realita kita sekarang sungguh bertolak belakang. Masih lekat di benak kita beberapa waktu yang lalu di televisi sempat kita saksikan seorang ibu tega membunuh ketiga buah hatinya hanya karena khawatir tidak mampu menghidupi mereka. Demikian juga tidak jarang kita mendengar seorang ibu rela menjual putrinya demi sesuap nasi dan sungguh sudah menjadi pemandangan kita sehari-hari gelandangan yang masih segar bugar menjatuhkan harga dirinya hanya demi sesuap nasi.
Sudah hilangkah keimanan dan kepercayaan kita kepada Allah? Lupakah kita nahwa mahluk sekecil semut pun Allah tidak lupa memberikan rizkinya setiap hari apalagi kita yang dinobatkan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

 “Setiap kisah yang didasari pada keyakinan pada Allah pertolongan Allah pasti akan datang”
“Sesungguhnya Allah seperti persangkaan hambanya”.

Kemandirian dalam Bersosial dan Pendidikan
Karena air zam-zam ini akhirnya burung-burung padang pasir seekor demi seekor berdatangan untuk melepaskan dahaga. Dan jejak burung ini menjadi petunjuk bagi kafilah-kafilah dan musyafir untuk menemukan sumber air. Keberadaan sumur zam-zam mengundang kehadiran kafilah-kafilah dari suku jurhum. Kafilah-kafilah tersebut mengundang keluarga dan bermukim di daerah tersebut.
Akhirnya daerah tersebut menjadi ramai juga di jadikan sebagai tempat menetap oleh rombongan demi rombongan. Siti Hajar sangat pintar bersosialisasi sehingga ia sangat dihormati dan disegani. Dia juga pintar mendidik anaknya (Ismail), sehingga Ismail tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan tawadhu sehingga menjadi pemuda yang sangat dihormati di masyarakat.

++++++++++++$$$$$$$$+++++++++++++
Repost tulisan lama dalam rangka boyongan dari www.barlanti.multiply.com

Ya Allah fajar dzulhijjah telah di depan mata…
Terukir kembali kisah hamba-hambamu yang mulia…
Tergambar kembali keagungan pribadi mereka…..
Terpapar kembali kisah sendu jejak perjuangan mereka…

Sunggah berat terasa penderitan oleh mereka
Sungguh terjal jalan hidup yang harus dilewati
Namun keimanan di hati…
Menepis semua kesedihan dan derita yang menyapa

Ya Allah, lahirkanlah dari rahim ummat ini…..
Mujahid yang teguh dan taat seperti ibrahim….
Mujahidah yang sabar dan tawakal seperti Hajar…..
Pemuda yang cerdas dan ikhlas seperti Ismail……

Ya Allah jadikanlah dzulhijjah ini
Menjadi titik balik bagi kepribadian kami…..
Jadikanlah kami hamba-Mu yang senantiasa belajar….
Dan berubah menjadi lebih baik seperti keluarga Ibrahim
 

0 Comments