Bu, Dendam itu Terbayar Sudah!
Dear
Ibu…
Masih
ingatkah ibu? Hari itu aku silaf menjawab pertanyaan ibu tentang pengertian
non-fiksi. Suara ibu yang lantang dan
khas itu pun melengking memenuhi ruangan kelas kami.
“Pengertian
non-fiksi pun tak tau?”
Duh
Ibu,
Dadaku
langsung gemetar mendengarnya. Badan terasa panas dingin. Aku merasa mataku
mulai memanas, sekuat tenaga kucoba untuk menahan agar cairan bening itu tidak
meleleh. Aku tidak lagi fokus dengan wejangan panjangmu selanjutnya.
Pernyataanmu yang menyudutkanku itu sudah membuatku malu ibu. Aku merutuki
kebodohan diri. Sungguh, duniaku terasa gelap seketika.
Aku
tau, memang begitulah gaya mengajarmu Ibu. To the point, tanpa tedeng
aling-aling. Engkau langsung menyatakan salah, ketika sesuatu itu salah. Tanpa
bisa mengingatkan muridmu dengan kalimat bersayap yang enak didengar oleh
telinga. Bermanis-manis di depan murid bukanlah sifatmu.
Namun,
ketika pernyataanmu itu ditujukan untukku, sungguh aku terluka ibu…:(
Lama,
peristiwa itu terus tersimpan dalam memoriku. Bahkan sampai sekarang pun aku
belum bisa menghapusnya. Memori itu melekat begitu kuat, setiap saat mendakwaku
sebagai murid yang gagal paham.
Namun
tahukah Ibu, rasa malu, sedih dan terluka itu justru menimbulkan dendam positif
dalam diriku. Semenjak hari itu, aku bersumpah dalam hatiku. Bahwa, suatu saat
kesilafan yang membuatku malu di kelas itu akan berbalik menjadi sebuah
kebanggaan. Akan kubuktikan pada ibu dan teman-teman semua bahwa aku tidak
hanya tau apa pengertian non-fiksi. Aku tidak hanya hafal segudang teori
tentang non fiksi. Tapi, aku bertekad akan menghasilkan karya-karya non fiksi
sebagai bukti pemahamanku tentang teori-teori tersebut. Suatu saat namaku akan
menghiasi karya-karya non fiksi di ranah literasi tanah air.
Akan
aku buktikan bu, bahwa pemahamanku tentang pengertian non fiksi tak sebatas
teori. Tak ada artinya bu, jika muridmu ini hanya bisa menghafal segudang teori
yang tidak akan pernah habisnya. Ilmu akan memberi arti ketika bisa
diaplikasikan dan memberi manfaat pada orang banyak. Dan semua itu akan aku
buktikan di hadapan ibu.
Sekali
lagi bu, dulu aku memang pernah silaf menjawab pertanyaan ibu. Tapi, bukan
berarti aku gagal paham dengan ilmu yang ibu beri.
Dear
Ibu,
Belasan
tahun sudah berlalu dari peristiwa memalukan di ruangan kelas 3 IPA itu.
Bayangan peristiwa itu masih lengket di ingatanku. Bahasa tubuh ibu masih
tergambar jelas di ingatanku. Lengkingan suara ibu masih terngiang-ngiang di
telingaku. Semua seakan baru kemaren terjadi.
Tapi,
sekarang aku bisa tersenyum mengingat semua itu.
Ibu
tau mengapa?
Karena,
dendam positif itu sudah terbayar.
Bu,
anak Ibu yang tidak bisa membedakan apa itu tulisan fiksi dan non fiksi
sekarang sudah menghasilkan karya-karya non fiksi. Buku non fiksi
karyanya sudah tersebar dan dibaca banyak orang di seluruh nusantara. Dendam positif itu terbayar sudah!
Inilah sebagian diantaranya yang sudah mejeng di toko-toko buku besar di seluruh Indonesia:
Ketika Merasa Allah tidak Adil: Buku Non Fiksiku dengan Nama Pena 'Aura Husna' Diterbitkan Oleh GPU (2012) |
Bawang Bawa Untung: Buku Non Fiksi Pertanian diterbitkan oleh Cahaya Atma (2011) |
Cabe Sehat Berkhasiat: Buku Non Fiksi Pertanian diterbitkan oleh Andi Publishing (2013) |
Kaya dengan Bersyukur: Buku Non Fiksi Menggunakan Nama Pena 'Aura Husna' diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2013) |
Buku Nonfiksi 'Ketika Merasa Allah tidak Adil' Nangkring di Rak Best Seller |
Sekarang
aku ingin sampaikan pada ibu bahwa aku sudah bisa memahami apa itu tulisan non fiksi. Terimakasih
bu, untuk teguran pedasnya yang telah melahirkan dendam positif dalam diri ini.
Dendam positif yang menuntunku untuk menempuh jalan ini.
Sekali
lagi terimakasih bu! Semoga Ibu sehat selalu dan terus bersemangat mengajarkan
bahasa dan sastra pada generasi penerus bangsa.
Salam
sayang
Ttd
2 Comments
Bener-bener dendam positif inih, gutlak yah Mbak :)
ReplyDeleteTerimakasih mbak Oci dah berkenan mampir, gutlak juga utk mbak Oci :)
DeleteTinggalkan Komen Ya!